Sabtu, 02 Juni 2018

Makalah Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita (khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah “Segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ahli ushul fiqh membatasi pengertian hadits hanya pada “Segala perkataan, segala perbuatan, dan segala taqrir Nabi Muhammad Saw, yang bersangkut paut dengan hukum.
            Beranjak dari pengertian-pengertian diatas, menarik dibicarakan tentang kedudukan hadits dalam islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum atau primer dalam islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hala atau perkara yang sedikit sekali Al-Quran membicarakan, atau Al-Quran membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Quran. Nah, jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Quran tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Quran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadist qudsi?
  2. Bagaimana macam-macam dan bentuk-bentuk hadits?
  3. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran  islam?
C. Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadits qudsi.
  2. Mengetahui macam-macam dan bentuk-bentuk hadits.
  3. Mengetahui kedudukan hadits sebagai ajaran islam.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar dan Hadits Qudsi.
Pengertian Hadits
            Kata hadits berasal dari bahasa arab “al-hadits” yang berarti baru, berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di antaranya:
  • Al-Jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama)
  • Qarib  (yang dekat, yang belum lama terjadi)
  • Khabar (warta, yakni sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain)[1]
Adapun pengertian hadits secara terminologis menurut ahli hadits adalah:
كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ خُلُقِيَّةٍ
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal ihwal Nabi”.
            Definisi diatas menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori hadits adalah perkataan Nabi (qauliyah), perbuatan Nabi (fi’liyah) dan segala ketetapan Nabi (taqririyah). Di samping itu, sebagian ahli hadits menyatakan bahwa masuk juga ke dalam keadaanya; segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah (sirah), kelahiran, dan keturunannya (silsilah), serta tempat dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi Nabi atau Rasul maupun sesudahnya.[2]
            Sedangkan menurut ulama ushul fiqh membatasi hadits hanya pada segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad Saw yang bersangkut paut dengan hukum[3].
            Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat. Sebagaimana melengkapi perkataan, berbuatan dan taqrir tabiin. Maka sesuatu yang sampai kepada sahabat dinamakan mauquf, dan yang sampai kepada tabiin dianamai maqthu.[4]
Pengertian Sunnah, Khabar dan Atsar
            Di samping itu ada beberapa kata yang bersinonim dengan kata hadits, seperti sunnah, khabar dan atsar. Di mana kebanyakan ulama mengartikan sama kepada tiga istilah ini. Namun sebagian yang lain membedakannya.
1.      Sunnah
            Menurut bahasa, sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak. Sesuatu yang menjadi tradisi atau kebiasaan dinamai sunnah, walupun tidak baik.
            Sunnah menurut muhaditsin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi Saw, maupun sesudahnya.
            Dalam kaitannya dalam istilah hadits, baik dari sudut etimologi maupun terminologi, antara sunnah dan hadits memiliki perbedaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh DR. Subhi Shalih dan Endang Soetari Ad., bahwa antara hadits dan sunnah dapat dibedakan; konotasi hadits adalah segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi Saw walaupun hanya satu kali Beliau mengucapkan dan mengerjakannya. Sedangkan sunnah, sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan secara terus-menerus dan dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawattir.
            Pada dasarnya antara hadits dan sunnah memilki pengertian yang sangat berdekatan juga, karena Rasulullah Saw memperkuat sunnahnya dengan sabda Nabi itu sendiri. Meminjam ungkapan Prof. Dr. Hasby Ash Shiddieqy bahwa sunnah dan hadits adalag dua buah kata untuk satu wujud.
2.      Khabar
            Khabar menurut etimologis ialah berita yang disampaikan dari         seseorang.Jamaknya adalah akhbar (orang banyak), yang         menyampaikan khabar dinamai akhbary.
            Khabar digunakan untuk segala sesuatu yang diterima dari   yang    selain Nabi Saw. Mengingat hai inilah orang yang   meriwayatkan hadits   dinamai muhaddist, dan orang yang   meriwayatkan sejarah dinamai akbary. Oleh          karenanya,menurut      mereka, khabar berbeda dengan hadits.
3.      Atsar
            Atsar menurut etimologis ialah bekas sesuatu atau sisa dari sesuatu,dan nukilan (yang dinukilkan), sesuatu doa umpamanya yang dinukilkan dari Nabi Saw dinamai doa ma’tsur. Sementara secara terminologis, jumhur ulama menyatakan atsar sama artinya dengan khabar dan hadits.
            Dengan memperhatikan definisi-definisi tersebut, maka jelas terdapat perbedaan, namun kita dapat mengartikan bahwa hadits, khabar, sunnah maupun atsar pada prinsipnya sama-sama bersumber Rasulullah.[5]
Pengertian Hadist Qudsi
            Al-Munawi dalam kitab Al-Misbah menyebutkan bahwa kalau lafadz al-Qudsi bisa juga dibaca al-Qudusi yang artinya ath-Turh (suci). Dalam bahasa arab disebutkan istilah al-Ardhul Muqaddasah (Tanah yang disucikan). Kalau lafadzh al-Hadits (Hadits-hadits) disandarkan kepada kata al-Quds sehingga berbunyi al-Hadits Qudsiyyah, maka tidak lain disandarkan sepenuhnya kepada Allah Swt.
            Hadits Qudsi juga disebut Hadits Illahi dan Hadits Rabbani. Dinamakan Qudsi (suci), Illahi (Tuhan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Suci, dan dinamakan hadits  karena Nabi yang menceritakannya dari Allah Swt. Kata Qudsi sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadits, sandaran hadist kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadits. oleh karena itu, tidak semua hadits Qudsi shahih, hasan dan dhaif, tergantung persyaratan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Pengertian yang disebut Hadits Qudsi adalah :
مااخبر اﷲنبيه باامنام فا خبر النبي صلي اﷲ عليه وسلم من ذلكۃالمعني بعبارۃ نفسه
“ Sesuatu yang dikabarkan Allah taala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri”.
            Pengertian Hadits Qudsi dalam ktab At-Tarifat adalah kabar berita yang disampaikan Allah Swt baik melalui ilham atau mimpi, kemudian Nabi Saw menyampaikan pesan dari Allah tersebut dengan redaksi yang berasal dari dirinya sendiri. Ali al-Qari rahimallahu taala berkata bahwa Hadits Qudsi adalah pesan dari Allah Swt yang diriwayatkan oleh perawi dan narasumber yang paling terpercaya, terkadang penyampaiannya melalui perantara malaikat jibril, melalui wahyu, ilham maupun lewat mimpi, sedangkan redaksi yang diutarakan dalam Hadits Qudsi diserahkan sepenuhnya kepada Rasulyllah Saw.
            Definisi Hadits Qudsi yang lain ialah :
كل حديث يضيفه الر سول اﷲ صلي الﷲ عليه و سلم الي ﷲ عز وجل
“Segala hadits yang disandarkan Rasul Saw kepada Allah azza wa jalla”.
Dengan demikian, Hadits Qudsi adalah hadits yang maknanya bersala dari Allah dan lafadznya dari Rasulullah Saw. Definisi ini menjelaskan bahwa Nabi hanya menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah Swt.
            Bentuk periwayatan Hadits Qudsi biasanya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah Swt, misalnya sebagai berikut:
قل النبي صلي ﷲوسلم قالاﷲ يقول عزوجل
“Nabi Saw bersabda: Allah azza wajalla berfirman....”
قال النبي ضلي ﷲوسلم فيما يرويه عن ربه
“Rasulullah Saw bersabda pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah Swt”
قال تعالي فيما رواه عنه رسول اﷲصلي الله عليه وسلم
“Allah Swt berfirman pada apa yang dirirwayatkan oleh Rasulullah Saw...”
Contoh Hadits Qudsi, yaitu hadist yang dirirwayatkan dari Abi Dzarr:
“Dari Nabi Saw pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah Swt bahwasannya Dia berfirman: “Hai hambaku sesungguhnya aku mengharamkan dzalim terhadap diriku dan aku jadikannya haram di antara kalian, maka janganlah saling mendzalimi..”(HR. Muslim).
            Jumlah Hadits Qudsi tidak terlalu banyak, yaitu sekitar 400 buah hadits tanpa terulang- ulang dalam sanad yang berbeda (ghayar mukarar), ia tersebar dalam tujuh kitab induk hadits. Mayoritas kandungan Hadits Qudsi tentang akhlaq, akidah, dan syariat. Di antara kitab  Hadits Qudsi adalah Al-Ahadits Al-Qudsiyah, yang diterbitkan oleh Jumhur Mesir Al-Arabiyah, Wuzarah Al-Awqaf Al-Majlis Al-A’la Al Islamiyah Lajnah Al-Sunah, Cairo 1998. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan bahwa Hadits Qudsi itu berjumlah 100 hadits yang dihimpun dalam satu kitab.[6]

B. Bentuk dan Macam-macam Hadits
Bentuk-bentuk Hadits
A.    Hadits Qauli
Hadits qauli adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berupa perkataan ataupun ucapan yang berkaitan dengan akidah, syari’ah dan akhlak. 
Contoh hadits
نَضّرَاللّهُ امْرَاًسَمِعَ مِنّاحَدِيْثًافَحَفِظَهُ وَبَلَغَهُ غَيْرَهُ فَرُبّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ثَلَاثٌ لَايَغِلٌ عَلَيْهِنّ قَلْبُ مُسْلِمٍ:اِخْلَاصُ الْعَمَلِ للّهِ وَمُنَا صَحَةُوُلَاةِالْاُمُوْرِوَلُزُومُ الْجَمَاعَةِفَاِنّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْوَرَائِهِمْ
Artinya:
“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain karena banyak orang yang berbicara mengenai fiqh, padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat dapat menghindari timbulnya rasa dengki di hati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepada Allah SWT., saling menasihati dengan pihak penguasa, dan patuh atau setia terhadap jamaah. Karena sesungguhnya doa mereka akan membimbing menjaganya dari belakang.”
B.     Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Matan hadits menjelaskan bahwa Nabi pernah melakukan pekerjaan tertentu, misalnya melaksanakan salat berjamaah, melaksanakan haji, dan sebagainya.
Contoh hadits
صَلٌوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِيْ اُصَلِّي (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”(H.R. Bukhari dan Muslim
C.     Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah penetapan atau penilaian Rasulullah SAW terhadap apa yang di ucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka diakui dan di benarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Taqrir Nabi seperti dikesani oleh para sahabat, misal dikesani bahwa Nabi menyetujui atau berada di atara setuju dan tidak setuju.
Contoh
كُنّانُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّي اللّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ يَرَا نَا وَلَمْ يَأْمُرْنَاوَلَمْ يَنْهَنَا (رواه البخاري)
Artinnya:
“kami (para sahabat) melakukan shalat dua rekaat sesudah terbenam matahari ( sebelum shalat maghrib ). Rasulullah SAW. terdiam ketika melihat yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami.”(H.R. Bukhari)
Ada juga contoh taqriri, yaitu ketika Khalid bin Walid menawari Rasulullah untuk memakan daging biawak , Rasulullah mengatakan binatang itu tidak ada di kampungnya, tetapi beliau tidak melarang Khalid bin Walid memakannya. Artinya, biawak termasuk binatang yang boleh dimakan.
D.    Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad SAW yang belom terealisasikan, seperti keinginannya untuk berpuasa pada tanggal 9 “Asyura, seperti yang di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas:

لَمَّا صَامَ رَسُوْلُ اللّٰهُ عَلَيْهِ أوَسَلَّمَ يَوْمَا عَا شُوْرَاءَوَاَمَرَ بِصِيَامِهِ. قَلُوْا: يَارَسُوْلَ اللّٰهِ، اِنَّهُ يَوْمٌ يُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُوَالنَّصَا رَي. فَقَالَ: فَاِذَكَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ اِنْ شَاءَاللّٰهُ صُمْنَاالْيَوْمَ التَّا سِعَ. (رواه مسلم وأبوداود)
Artinya:
“ketika Nabi Muhammad SAW. berpuasa pada hari ‘asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘ya Nabi hari ini adalah yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani.’ Nabi SAW. bersabda, ‘Tahun yang akan dating insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilannya’.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)[7]
Macam-macam Hadits
1.      Dari Segi Periwayatannya
a.       Hadist Mutawatir
Hadist Mutawati adalah suatu hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap geerasi, sejak generasi sahabat sampai generasi akhir, orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong.[8]
Hadist Mutawatir ini berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal meyakinkan informasi. Ia sejajar dengan Al Quran dalam arti diriwayatkan secara Mutawatir. Hadist mutawatir dibagi menjadi dua yakni sebagai berikut.
·         Mutawatir Lafzhi yaitu hadist  yang mutawatir redaksinya.
·         Mutawatir Ma’nawi yaitu hadist yang isinya atau kandungannya diriwayatkan secara mutawattir dengan redaksinya yang berbeda beda. Misalnya hadist hadist tentang tingkah laku Nabi ketika Shalat, begaul dengan Masyarakat dan lain lain.
b.      Hadist Masyhur
Hadist  masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat Mutawattir. Kemasyhuran sebuah hadist itu ada relatifitasnya. Ada sebuah hadist yang masyhur menurut ulama Fiqih, ada yang masyhur menurut ahli hadist  dan ada juga yang masyhur di semua komunitas. [9]
رفع عن امتى الخطا والنييان وما استكر هو عليه
“Umatku  yang dibebaskan dari tanggung jawab adalah “tersalahkan”, lupa  dan dipaksa”. Adalah masyhur menurut ahli hadist
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هاجر الحرم الله
“orang islam adalah yang menyelamatkan orang islam lain dari bahaya lisan dan perbuatan, dan orang muhajir adalah orang yang menyingkiri hal yang diharamkan Allah”. Masyhur menurut ahli hadist dan fiqh
c.       Hadist Ahad
Hadist Ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawattir. Keterikatan orang islam terhadap informasi hadist ahad tergantung pada kualitas periwayatan dan persambungan sanadnya.[10]
Contoh ahad yang bisa dijadikan sebagai dasar Syariat Islam antara lain. Diriwayatkan oleh Imam Malik dari Ishaq ibn Abi Thalhah dari Anas ibn Malik yang mengatakan “aku pernah memberi Abu thalhah, Abu Ubaidah ibn al Jarrah dan Ubai ibn Ka’b minuman pearasan anggur dan kurma” kemudian seseorang datang dan berkata “sesungguhnya khamr itu telah diharamkan” maka Abu Thalhah berkata “hai Anas, buanglah dan ambil botol itu dan pecahkan!” kemudian minuman tersebut dibuang dan dipecahkan.
Sebelum datang larangan ini, masyarakat memahami bahwa minum minuman keras itu boleh diminum. Beberapa orang yang disebut didalam riwayat ini termasuk yang berpengetahuan seperti ini. Kedatang seseorang yang membawa berita tersebut, kendatinya diriwayatkan secara ahad.
2.      Dari segi Penerimaan dan Penolakan
a.       Hadist Shohih
Hadist shohih menurut Ibn al Shalah adalah hadist yang musnad, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang orang yang berwatak adil dan dhabit  dari orang yang berwatak seperti itu juga sampai puncaknya, hadist mana tidak syadz dan tidak pula mengandung cacat.[11]
Sedangkan menurut Imam al Nawawi hadist shohih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang orang adil dan dhabit serta tidak syadz dan tidak cacat
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadist shohih itu mengandung unsur sebagai berikut
·      Sanadnya bersambung semenjak dari Nabi sampai periwayat terakhir
·      Diriwayatkan oleh orang yang memiliki sifat adil dan dhabit
·      Informasi hadistnya tidak syadz
·      Hadist yang diriwayatkan tidak caca
عن ابىى  هريرة  رضى الله  عنه قل: رسو الله صلى الله عليه وسلم طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلباان يغسله سبع مراتا اولاهن ناالتراب
Dari Abu Hurairah ra, katanya Rosulullah saw bersabda “bejana milik seseorang, bila dijilat anjing akan menjadi suci apabila disiram tuju kali, satunya diantaranya dengan tanah.”
Menurut pengikut syafii hadist ini menjadi dasar untuk menetapkan bahwa najis itu ada tiga. Mukhofafah, mutawasithah dan mughallazhah. Munculnya konsep hadist mughaladzhah didasarkan pada hadist shahih ini. Namun dalam madzhab Maliki, karena didalam tradisi masyarakat madinah tidak dikenal cara pembersihan najis jilatan anjing seperti terkandung di dalam hadist hadist ini, maka tersebut di tolak artinya, najis jilatan anjing termasuk najis biasanya seperti najis najis lainnya. Kononnya Abu Hurairah, satu satunya periwayat hadist ini (tingkatan sahabat) tidak mengamalkan hadist tersebut.
b.      Hadist Hasan
Sebenarnya hadist hasan itu sama dengan hadist shahih. Bedanya kalau didalam hadist shohih semua periwayatannya harus sempurna kedhabitannya, maka dalam hadist hasan ada perawi yang kedhabitannya itu kurang.
Menurut para Ulama hadist hasan dapat naik derajat menjadi shahih karena ada hadist lain yang menguatkannya. Dengan kata lain hadist hasan ini terangkat menjadi hadist shahih. Dalam Ilmu Mushalahah hadist disebut hadist shahih li ghairih[12]
عن محمد بن عمروعن ابى سلمة عن ابى هرير ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قل: لولاانااشق علا امتى لامرتهم با السواك عند كل صلاة
Dari Muhammad ibnu Amr dari Abu Hurairah bahwa Rosulullah saw berkata “sekiranya tidak merepotkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak (gosok gigi ) untuk setiap kali hendak shalat.”
            Diperoleh informasi bahwa seorang periwayat yang bernama Muhammad ibn Amru ibn Alqamah terkenal kejujurannya. Tetapi ia tidak termasuk orang yang dhabit, karena itu ada yang meilai lemah dari kedhabitannya. Sehingga hadist ini termasuk ke dalam hadist hasan lidzhatihi.
c.       Hadist Dhaif
Hadist dhaif adalah hadist yang tidak memenuhi persyaratan sebuah hadist shahih maupn hasan, diantara periwayatannya ada yang dusta atau tidak dikenal dan lain lain.
Ada beberapa sebab yang menjadikan sebuah hadist diberi nilai dhaif . ada kalanya sanadnya tidak bersambung ada kalanya juga karena periwayatannya cacat atau sebab lain.[13]
من أتي حائضا أو إمرأة أو كاهنا فقد كفر بما أنزل علي محمد
 “Barang siapa yang mendatangi seorang haid, atau perempuan atau seorang dukun, maka ia telah kufur atas hal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”
Setelah meriwayatkan Hadis di atas imam at-Tirmidzi pun menjelaskan lebih rinci dalam sarahnya bahwa beliau tidak mengetahui hadits tersebut kecuali dari sanad Hakim al-Astrom dari Abi Tamimah al-Hujaimy dari Abi Hurairoh. Bahkan Imam Bukhori pun mengatakan bahwa hadits ini dhoif dari segi sanadnya. Hal ini memang terbukti karena dalam sanadnya ada Hakim al-Atsrom yang telah didhaifkan oleh para ulama’.

C. Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam
a.         Kedudukan Hadis
Menurut jumhur Ulama, kedudukan hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menempati posisi ke dua setelah Al-Qur’an. Hadis nabi merupakan penafsiran, dalam praktek-praktek penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal, umat islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menerangkan kedudukan hadis:
1)   Dalil Al-Qur’an
(QS. Al-Hasyr:7)
 مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
Artinya: apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
(QS. Ali Imran:31)
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
Artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2)   Dalil Hadis
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: تَـرَكْتُ فِـيْكُمْ اَمـْرَيـْنِ لَنْ تَضِلُّـوْا مَا تَـمَسَّكْـتُمْ بِـهِمَا: كِـتَابَ اللهِ وَ سُنَّـةَ رَسُوْلـــِهِ. مالك
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda : "Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduaya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya". [HR. Malik]
3)   Kesepakatan Ulama (Ijma’ Ulama)
Kesepakatan Ulama islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalka segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak masa Rasulullah SAW masih hidup sampai meninggal. Banyak di antara mereka yag tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandunganya akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyalurkan kepada generasi-gerenasi berikutnya. 
4)   Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. Telah diakui dan dibenarkan, dan sudah selayaknya segala peraturan dan perundangan ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada nabi Muhammad SAW sebagai rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Fungsi Hadis
a.        Bayan al-Taqrir/ al-Ta’qid/ al-Isbat
Menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Contohnya hadis yang mentaqrir ayat Al-Qur’an surah Al-Maidah:6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mau shalat

نَصْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma'mar dari Hammam dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia berwudhu." HR. Bukhari no: 6440
Hadis tersebut mentaqrir QS. Al-Maidah :6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
b.        Bayan al-Tafsir
Memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan persyaratan ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misal pembatasan tentang bangkai yang tidak boleh di makan kecuai bangakai ikan dan belalang. Sebagai mana firman Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Baqarah : 173]
Kemudian di perinci lagi dengan sabda rasulullah SAW. Yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اُحِلَّ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ، فَاَمَّا اْلمَيْتَتَانِ فَاْلحُوْتُ وَ اْلجَرَادُ وَ اَمَّا الدَّمَانِ فَاْلكَبِدُ وَ الطّحَالُ. ابن ماجه 2: 1101، رقم: 3314
.Dari 'Abdullah bin 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan dua darah yaitu hati dan limpa". [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1101, no. 3314)

c.         Bayan al-Tasyril
Mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Biasanya alquran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Misal tentang zakat fitrah
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَ اْلحُرّ وَ الذَّكَرِ وَ اْلاُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ اَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ. البخارى 2: 138
Artinya: Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fithrah satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter) dari korma atau satu sha' dari  gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil dan dewasa dari orang-orang Islam, dan beliau menyuruh supaya dikeluarkan zakat fithrah itu sebelum orang-orang keluar pergi shalat ('Idul Fithri)". [HR. Bukhari juz 2, hal. 138].
d.        Bayan al-nasakh
al-ibtal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. 
Contoh: wasiat bagi ahli waris
Surah Al-Baqarah ayat 180
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
 Di nasakh dengan :

..فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Artinya: maka tidak ada harta wasiat bagi ahli waris. (HR.IBNUMAJAH - 2704) :[14]



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
                        Hadits adalah perkataan Nabi (qauliyah), perbuatan Nabi (fi’liyah) dan segala ketetapan Nabi (taqririyah). Di samping itu ada beberapa kata yang bersinonim dengan kata hadits, seperti sunnah, khabar dan atsar. Di mana kebanyakan ulama mengartikan sama kepada tiga istilah ini. Namun sebagian yang lain membedakannya. Sedangkan Hadits Qudsi adalah hadits yang maknanya bersala dari Allah dan lafadznya dari Rasulullah Saw.
            Bentuk-bentuk hadits diantaranya : hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri dan hadits hammi. Sedangkan macam-macam hadits antara lain: hadits mutawattir, hadits masyhur, hadits, hadits ahad, hadits shohih, hadits hasan dan hadits dhoif
            Menurut jumhur Ulama, kedudukan hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menempati posisi ke dua setelah Al-Qur’an. Lalu fungsi hadits diantaranya:
1.      Bayan al-Taqrir/ al-Ta’qid/ al-Isbat
2.      Bayan al-Tafsir
3.      Bayan al-Tasyril
4.      Bayan al-nasakh
B. Saran
            Kami sebagai penulis makalah ini sadar jika makalah ini jauh dari kata sempurna,  kami masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi keberhasilan makalah ini, dan kami akan lebih berhati- hati dan teliti dalam penulisan kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Musthofa. 2012. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia
Khoiriyah. 2013. Metodologi Studi Islam. Surakarta: Fataba Press
Manna Al-Qaththan. 2013. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUSAR
Supiana. 2017. METODOLOGI STUDI ISLAM. Bandung: Remaja Rosda Karya
Ulumhadis.wordpress.com/2013/10/10/definisi-hadits-2.co.id.


[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Islam Hadits, hal. 22
[2] Prof. Dr. Supiana, M.Ag, Metodologi Studi Islam, hal 168
[3] Ulumhadis.wordpress.com/2013/10/10/definisi-hadits-2.co.id.
[4] Prof. Dr. Supiana, M.Ag, Metodologi Studi Islam, hal 169
[5] Ibid hal 169-172
[6] Ibid hal 176-178
[7] Musthofa Hasan, ilmu hadits (CV Pustaka Setia,2012) hal 39-46
[8] Musthofa Hasan, Ilmu Hadist (CV Pustaka Setia,2012) hal84
[9] Ibid hal 85
[10] Ibid hal 86
[11] Ibid hal 88
[12] Ibid hal 92-93
[13] Ibid hal 94
[14] Khoiriyah, M.Ag. metodologi Studi Islam (fataba press, 2013)hal: 46-49

1 komentar:

  1. Gambling on the Internet - Drmcd
    Gambling on the Internet. A place to play 의왕 출장마사지 games, 안동 출장마사지 online 성남 출장샵 casino or sports betting, is at a crossroads. Many 세종특별자치 출장샵 gambling websites are now 익산 출장안마 available,

    BalasHapus