BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut
bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita
(khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah “Segala ucapan Nabi,
segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ahli ushul
fiqh membatasi pengertian hadits hanya pada “Segala perkataan, segala
perbuatan, dan segala taqrir Nabi Muhammad Saw, yang bersangkut paut dengan
hukum.
Beranjak
dari pengertian-pengertian diatas, menarik dibicarakan tentang kedudukan hadits
dalam islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum
atau primer dalam islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hala atau
perkara yang sedikit sekali Al-Quran membicarakan, atau Al-Quran membicarakan
secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Quran. Nah,
jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Quran tersebut,
maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits
sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Quran atau bahkan menjadi sumber hukum
sekunder atau kedua setelah Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadist qudsi?
- Bagaimana macam-macam dan bentuk-bentuk hadits?
- Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam?
C. Tujuan Penulisan
- Mengetahui pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadits qudsi.
- Mengetahui macam-macam dan bentuk-bentuk hadits.
- Mengetahui kedudukan hadits sebagai ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar dan Hadits Qudsi.
Pengertian Hadits
Kata hadits berasal dari bahasa arab
“al-hadits” yang berarti baru, berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata ini
memiliki banyak arti di antaranya:
- Al-Jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama)
- Qarib (yang dekat, yang belum lama terjadi)
- Khabar (warta, yakni sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain)[1]
Adapun pengertian hadits secara terminologis menurut ahli hadits
adalah:
كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ خُلُقِيَّةٍ
“Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat dan hal ihwal Nabi”.
Definisi diatas menyatakan bahwa
yang termasuk dalam kategori hadits adalah perkataan Nabi (qauliyah), perbuatan
Nabi (fi’liyah) dan segala ketetapan Nabi (taqririyah). Di samping itu,
sebagian ahli hadits menyatakan bahwa masuk juga ke dalam keadaanya; segala
yang diriwayatkan dalam kitab sejarah (sirah), kelahiran, dan keturunannya (silsilah),
serta tempat dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi
Nabi atau Rasul maupun sesudahnya.[2]
Sedangkan
menurut ulama ushul fiqh membatasi hadits hanya pada segala perkataan, segala
perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad Saw yang bersangkut paut dengan hukum[3].
Sebagian
ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda Nabi,
perbuatan beliau dan taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir
sahabat. Sebagaimana melengkapi perkataan, berbuatan dan taqrir tabiin. Maka
sesuatu yang sampai kepada sahabat dinamakan mauquf, dan yang sampai kepada
tabiin dianamai maqthu.[4]
Pengertian Sunnah, Khabar dan Atsar
Di samping itu ada beberapa kata
yang bersinonim dengan kata hadits, seperti sunnah, khabar dan atsar. Di mana
kebanyakan ulama mengartikan sama kepada tiga istilah ini. Namun sebagian yang
lain membedakannya.
1.
Sunnah
Menurut bahasa,
sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak. Sesuatu yang
menjadi tradisi atau kebiasaan dinamai sunnah, walupun tidak baik.
Sunnah menurut
muhaditsin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi Saw, maupun sesudahnya.
Dalam kaitannya
dalam istilah hadits, baik dari sudut etimologi maupun terminologi, antara
sunnah dan hadits memiliki perbedaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh DR.
Subhi Shalih dan Endang Soetari Ad., bahwa antara hadits dan sunnah dapat
dibedakan; konotasi hadits adalah segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi
Saw walaupun hanya satu kali Beliau mengucapkan dan mengerjakannya. Sedangkan
sunnah, sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan secara terus-menerus dan dinukilkan
dari masa ke masa dengan jalan mutawattir.
Pada dasarnya
antara hadits dan sunnah memilki pengertian yang sangat berdekatan juga, karena
Rasulullah Saw memperkuat sunnahnya dengan sabda Nabi itu sendiri. Meminjam
ungkapan Prof. Dr. Hasby Ash Shiddieqy bahwa sunnah dan hadits adalag dua buah
kata untuk satu wujud.
2.
Khabar
Khabar
menurut etimologis ialah berita yang disampaikan dari seseorang.Jamaknya adalah akhbar (orang banyak), yang menyampaikan khabar dinamai akhbary.
Khabar
digunakan untuk segala sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Saw.
Mengingat hai inilah orang yang meriwayatkan
hadits dinamai muhaddist, dan orang yang
meriwayatkan sejarah dinamai akbary.
Oleh karenanya,menurut mereka, khabar berbeda dengan hadits.
3.
Atsar
Atsar menurut etimologis ialah bekas
sesuatu atau sisa dari sesuatu,dan nukilan (yang dinukilkan), sesuatu doa
umpamanya yang dinukilkan dari Nabi Saw dinamai doa ma’tsur. Sementara secara
terminologis, jumhur ulama menyatakan atsar sama artinya dengan khabar dan
hadits.
Dengan
memperhatikan definisi-definisi tersebut, maka jelas terdapat perbedaan, namun
kita dapat mengartikan bahwa hadits, khabar, sunnah maupun atsar pada
prinsipnya sama-sama bersumber Rasulullah.[5]
Pengertian
Hadist Qudsi
Al-Munawi dalam kitab Al-Misbah
menyebutkan bahwa kalau lafadz al-Qudsi bisa juga dibaca al-Qudusi yang artinya
ath-Turh (suci). Dalam bahasa arab disebutkan istilah al-Ardhul Muqaddasah
(Tanah yang disucikan). Kalau lafadzh al-Hadits (Hadits-hadits) disandarkan
kepada kata al-Quds sehingga berbunyi al-Hadits Qudsiyyah, maka tidak lain
disandarkan sepenuhnya kepada Allah Swt.
Hadits Qudsi juga disebut Hadits
Illahi dan Hadits Rabbani. Dinamakan Qudsi (suci), Illahi (Tuhan), dan Rabbani
(ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Suci, dan dinamakan
hadits karena Nabi yang menceritakannya
dari Allah Swt. Kata Qudsi sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi
hadits, sandaran hadist kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadits. oleh
karena itu, tidak semua hadits Qudsi shahih, hasan dan dhaif, tergantung
persyaratan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Pengertian yang
disebut Hadits Qudsi adalah :
مااخبر اﷲنبيه باامنام فا خبر النبي صلي اﷲ عليه
وسلم من ذلكۃالمعني بعبارۃ نفسه
“ Sesuatu yang
dikabarkan Allah taala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang
kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan
ungkapan kata beliau sendiri”.
Pengertian Hadits Qudsi dalam ktab
At-Tarifat adalah kabar berita yang disampaikan Allah Swt baik melalui ilham
atau mimpi, kemudian Nabi Saw menyampaikan pesan dari Allah tersebut dengan
redaksi yang berasal dari dirinya sendiri. Ali al-Qari rahimallahu taala
berkata bahwa Hadits Qudsi adalah pesan dari Allah Swt yang diriwayatkan oleh
perawi dan narasumber yang paling terpercaya, terkadang penyampaiannya melalui
perantara malaikat jibril, melalui wahyu, ilham maupun lewat mimpi, sedangkan
redaksi yang diutarakan dalam Hadits Qudsi diserahkan sepenuhnya kepada Rasulyllah
Saw.
Definisi Hadits
Qudsi yang lain ialah :
كل حديث يضيفه الر سول اﷲ صلي الﷲ عليه و سلم الي
ﷲ عز وجل
“Segala hadits yang disandarkan Rasul Saw kepada Allah azza wa
jalla”.
Dengan
demikian, Hadits Qudsi adalah hadits yang maknanya bersala dari Allah dan
lafadznya dari Rasulullah Saw. Definisi ini menjelaskan bahwa Nabi hanya
menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah Swt.
Bentuk periwayatan Hadits Qudsi
biasanya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah Swt, misalnya
sebagai berikut:
قل النبي صلي ﷲوسلم قالاﷲ يقول عزوجل
“Nabi Saw bersabda: Allah azza wajalla berfirman....”
قال النبي ضلي ﷲوسلم فيما يرويه عن ربه
“Rasulullah Saw bersabda pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah
Swt”
قال تعالي فيما رواه عنه رسول اﷲصلي الله عليه وسلم
“Allah Swt berfirman pada apa yang dirirwayatkan oleh Rasulullah
Saw...”
Contoh Hadits Qudsi, yaitu hadist yang dirirwayatkan dari Abi
Dzarr:
“Dari Nabi Saw pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah Swt
bahwasannya Dia berfirman: “Hai hambaku sesungguhnya aku mengharamkan dzalim
terhadap diriku dan aku jadikannya haram di antara kalian, maka janganlah
saling mendzalimi..”(HR. Muslim).
Jumlah Hadits Qudsi tidak terlalu
banyak, yaitu sekitar 400 buah hadits tanpa terulang- ulang dalam sanad yang
berbeda (ghayar mukarar), ia tersebar dalam tujuh kitab induk hadits. Mayoritas
kandungan Hadits Qudsi tentang akhlaq, akidah, dan syariat. Di antara
kitab Hadits Qudsi adalah Al-Ahadits
Al-Qudsiyah, yang diterbitkan oleh Jumhur Mesir Al-Arabiyah, Wuzarah Al-Awqaf Al-Majlis
Al-A’la Al Islamiyah Lajnah Al-Sunah, Cairo 1998. Ada pula sebagian ulama yang
mengatakan bahwa Hadits Qudsi itu berjumlah 100 hadits yang dihimpun dalam satu
kitab.[6]
B. Bentuk dan
Macam-macam Hadits
Bentuk-bentuk Hadits
A.
Hadits
Qauli
Hadits qauli adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang berupa perkataan ataupun ucapan yang berkaitan dengan
akidah, syari’ah dan akhlak.
Contoh hadits
نَضّرَاللّهُ امْرَاًسَمِعَ مِنّاحَدِيْثًافَحَفِظَهُ وَبَلَغَهُ
غَيْرَهُ فَرُبّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ثَلَاثٌ لَايَغِلٌ عَلَيْهِنّ
قَلْبُ مُسْلِمٍ:اِخْلَاصُ الْعَمَلِ للّهِ وَمُنَا
صَحَةُوُلَاةِالْاُمُوْرِوَلُزُومُ الْجَمَاعَةِفَاِنّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ
مِنْوَرَائِهِمْ
Artinya:
“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang
yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya
kepada orang lain karena banyak orang yang berbicara mengenai fiqh, padahal ia
bukan ahlinya. Ada tiga sifat dapat menghindari timbulnya rasa dengki di hati
seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepada Allah SWT., saling menasihati
dengan pihak penguasa, dan patuh atau setia terhadap jamaah. Karena
sesungguhnya doa mereka akan membimbing menjaganya dari belakang.”
B.
Hadits
Fi’li
Hadits fi’li adalah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad
SAW. Matan hadits menjelaskan bahwa Nabi pernah melakukan pekerjaan tertentu,
misalnya melaksanakan salat berjamaah, melaksanakan haji, dan sebagainya.
Contoh hadits
صَلٌوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِيْ اُصَلِّي (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.”(H.R. Bukhari dan Muslim
C.
Hadits
Taqriri
Hadits taqriri adalah penetapan atau penilaian Rasulullah SAW
terhadap apa yang di ucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau
perbuatan mereka diakui dan di benarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Taqrir Nabi
seperti dikesani oleh para sahabat, misal dikesani bahwa Nabi menyetujui atau
berada di atara setuju dan tidak setuju.
Contoh
كُنّانُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ وَكَانَ
رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّي اللّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ يَرَا نَا وَلَمْ
يَأْمُرْنَاوَلَمْ يَنْهَنَا (رواه البخاري)
Artinnya:
“kami (para sahabat) melakukan shalat dua
rekaat sesudah terbenam matahari ( sebelum shalat maghrib ). Rasulullah SAW.
terdiam ketika melihat yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh dan tidak pula
melarang kami.”(H.R. Bukhari)
Ada juga contoh taqriri, yaitu ketika Khalid bin Walid menawari
Rasulullah untuk memakan daging biawak , Rasulullah mengatakan binatang itu
tidak ada di kampungnya, tetapi beliau tidak melarang Khalid bin Walid
memakannya. Artinya, biawak termasuk binatang yang boleh dimakan.
D.
Hadits
Hammi
Hadits
hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad SAW yang belom
terealisasikan, seperti keinginannya untuk berpuasa pada tanggal 9 “Asyura,
seperti yang di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas:
لَمَّا صَامَ رَسُوْلُ اللّٰهُ عَلَيْهِ أوَسَلَّمَ يَوْمَا عَا
شُوْرَاءَوَاَمَرَ بِصِيَامِهِ. قَلُوْا: يَارَسُوْلَ اللّٰهِ، اِنَّهُ يَوْمٌ
يُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُوَالنَّصَا رَي. فَقَالَ: فَاِذَكَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ
اِنْ شَاءَاللّٰهُ صُمْنَاالْيَوْمَ التَّا سِعَ. (رواه مسلم وأبوداود)
Artinya:
“ketika Nabi Muhammad SAW. berpuasa pada
hari ‘asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa, mereka
berkata, ‘ya Nabi hari ini adalah yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan
nasrani.’ Nabi SAW. bersabda, ‘Tahun yang akan dating insya Allah aku akan
berpuasa pada hari yang kesembilannya’.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)[7]
Macam-macam
Hadits
1.
Dari
Segi Periwayatannya
a.
Hadist
Mutawatir
Hadist Mutawati
adalah suatu hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap geerasi,
sejak generasi sahabat sampai generasi akhir, orang banyak tersebut layaknya
mustahil untuk berbohong.[8]
Hadist Mutawatir ini berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal
meyakinkan informasi. Ia sejajar dengan Al Quran dalam arti diriwayatkan secara
Mutawatir. Hadist mutawatir dibagi menjadi dua yakni sebagai berikut.
·
Mutawatir
Lafzhi yaitu hadist yang mutawatir
redaksinya.
·
Mutawatir
Ma’nawi yaitu hadist yang isinya atau kandungannya diriwayatkan secara
mutawattir dengan redaksinya yang berbeda beda. Misalnya hadist hadist tentang
tingkah laku Nabi ketika Shalat, begaul dengan Masyarakat dan lain lain.
b.
Hadist
Masyhur
Hadist masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan dari
Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat Mutawattir.
Kemasyhuran sebuah hadist itu ada relatifitasnya. Ada sebuah hadist yang
masyhur menurut ulama Fiqih, ada yang masyhur menurut ahli hadist dan ada juga yang masyhur di semua komunitas.
[9]
رفع عن امتى الخطا والنييان وما استكر هو عليه
“Umatku
yang dibebaskan dari tanggung jawab adalah “tersalahkan”, lupa dan dipaksa”. Adalah masyhur menurut ahli
hadist
المسلم من سلم المسلمون من لسانه
ويده والمهاجر من هاجر الحرم الله
“orang islam adalah yang menyelamatkan orang islam lain dari bahaya
lisan dan perbuatan, dan orang muhajir adalah orang yang menyingkiri hal yang
diharamkan Allah”. Masyhur menurut ahli hadist dan fiqh
c.
Hadist
Ahad
Hadist Ahad adalah
hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai
derajat masyhur, apalagi mutawattir. Keterikatan orang islam terhadap informasi
hadist ahad tergantung pada kualitas periwayatan dan persambungan sanadnya.[10]
Contoh ahad
yang bisa dijadikan sebagai dasar Syariat Islam antara lain. Diriwayatkan oleh
Imam Malik dari Ishaq ibn Abi Thalhah dari Anas ibn Malik yang mengatakan “aku
pernah memberi Abu thalhah, Abu Ubaidah ibn al Jarrah dan Ubai ibn Ka’b minuman
pearasan anggur dan kurma” kemudian seseorang datang dan berkata “sesungguhnya
khamr itu telah diharamkan” maka Abu Thalhah berkata “hai Anas, buanglah dan
ambil botol itu dan pecahkan!” kemudian minuman tersebut dibuang dan
dipecahkan.
Sebelum datang
larangan ini, masyarakat memahami bahwa minum minuman keras itu boleh diminum.
Beberapa orang yang disebut didalam riwayat ini termasuk yang berpengetahuan
seperti ini. Kedatang seseorang yang membawa berita tersebut, kendatinya
diriwayatkan secara ahad.
2.
Dari
segi Penerimaan dan Penolakan
a.
Hadist
Shohih
Hadist shohih
menurut Ibn al Shalah adalah hadist yang musnad, yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh orang orang yang berwatak adil dan dhabit dari orang yang berwatak seperti itu juga
sampai puncaknya, hadist mana tidak syadz dan tidak pula mengandung cacat.[11]
Sedangkan
menurut Imam al Nawawi hadist shohih adalah hadist yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh orang orang adil dan dhabit serta tidak syadz dan tidak cacat
Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa hadist shohih itu mengandung unsur sebagai
berikut
· Sanadnya bersambung semenjak dari Nabi sampai periwayat terakhir
· Diriwayatkan oleh orang yang memiliki sifat adil dan dhabit
· Informasi hadistnya tidak syadz
· Hadist yang diriwayatkan tidak caca
عن ابىى هريرة
رضى الله عنه قل: رسو الله صلى
الله عليه وسلم طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلباان يغسله سبع مراتا اولاهن
ناالتراب
Dari Abu Hurairah ra, katanya Rosulullah saw bersabda “bejana milik
seseorang, bila dijilat anjing akan menjadi suci apabila disiram tuju kali,
satunya diantaranya dengan tanah.”
Menurut
pengikut syafii hadist ini menjadi dasar untuk menetapkan bahwa najis itu ada
tiga. Mukhofafah, mutawasithah dan mughallazhah. Munculnya konsep hadist
mughaladzhah didasarkan pada hadist shahih ini. Namun dalam madzhab Maliki,
karena didalam tradisi masyarakat madinah tidak dikenal cara pembersihan najis
jilatan anjing seperti terkandung di dalam hadist hadist ini, maka tersebut di
tolak artinya, najis jilatan anjing termasuk najis biasanya seperti najis najis
lainnya. Kononnya Abu Hurairah, satu satunya periwayat hadist ini (tingkatan
sahabat) tidak mengamalkan hadist tersebut.
b.
Hadist
Hasan
Sebenarnya
hadist hasan itu sama dengan hadist shahih. Bedanya kalau didalam hadist shohih
semua periwayatannya harus sempurna kedhabitannya, maka dalam hadist hasan ada
perawi yang kedhabitannya itu kurang.
Menurut para
Ulama hadist hasan dapat naik derajat menjadi shahih karena ada hadist lain
yang menguatkannya. Dengan kata lain hadist hasan ini terangkat menjadi hadist
shahih. Dalam Ilmu Mushalahah hadist disebut hadist shahih li ghairih[12]
عن محمد بن
عمروعن ابى سلمة عن ابى هرير ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قل: لولاانااشق علا
امتى لامرتهم با السواك عند كل صلاة
Dari Muhammad ibnu Amr dari Abu Hurairah bahwa Rosulullah saw
berkata “sekiranya tidak merepotkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan
mereka bersiwak (gosok gigi ) untuk setiap kali hendak shalat.”
Diperoleh
informasi bahwa seorang periwayat yang bernama Muhammad ibn Amru ibn Alqamah
terkenal kejujurannya. Tetapi ia tidak termasuk orang yang dhabit, karena itu
ada yang meilai lemah dari kedhabitannya. Sehingga hadist ini termasuk ke dalam
hadist hasan lidzhatihi.
c.
Hadist
Dhaif
Hadist dhaif
adalah hadist yang tidak memenuhi persyaratan sebuah hadist shahih maupn hasan,
diantara periwayatannya ada yang dusta atau tidak dikenal dan lain lain.
Ada beberapa
sebab yang menjadikan sebuah hadist diberi nilai dhaif . ada kalanya sanadnya
tidak bersambung ada kalanya juga karena periwayatannya cacat atau sebab lain.[13]
من أتي حائضا أو إمرأة أو كاهنا فقد كفر بما أنزل علي محمد
“Barang siapa yang
mendatangi seorang haid, atau perempuan atau seorang dukun, maka ia telah kufur
atas hal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”
Setelah
meriwayatkan Hadis di atas imam at-Tirmidzi pun menjelaskan lebih rinci dalam
sarahnya bahwa beliau tidak mengetahui hadits tersebut kecuali dari sanad Hakim
al-Astrom dari Abi Tamimah al-Hujaimy dari Abi Hurairoh. Bahkan Imam Bukhori
pun mengatakan bahwa hadits ini dhoif dari segi sanadnya. Hal ini memang
terbukti karena dalam sanadnya ada Hakim al-Atsrom yang telah didhaifkan oleh
para ulama’.
C. Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam
a.
Kedudukan
Hadis
Menurut
jumhur Ulama, kedudukan hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menempati
posisi ke dua setelah Al-Qur’an. Hadis nabi merupakan penafsiran, dalam
praktek-praktek penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal, umat islam
diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Dalil
naqli dan dalil ‘aqli yang menerangkan kedudukan hadis:
1)
Dalil
Al-Qur’an
(QS. Al-Hasyr:7)
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ
فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ
ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
Artinya: apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk
rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya
saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
(QS. Ali Imran:31)
قُلۡ
إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ
لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
Artinya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
2)
Dalil
Hadis
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص
قَالَ: تَـرَكْتُ فِـيْكُمْ اَمـْرَيـْنِ لَنْ تَضِلُّـوْا مَا تَـمَسَّكْـتُمْ
بِـهِمَا: كِـتَابَ اللهِ وَ سُنَّـةَ رَسُوْلـــِهِ. مالك
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda : "Aku telah
meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama
kamu berpegang teguh kepada keduaya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya". [HR.
Malik]
3)
Kesepakatan
Ulama (Ijma’ Ulama)
Kesepakatan
Ulama islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalka segala ketentuan yang
terkandung di dalam hadis ternyata sejak masa Rasulullah SAW masih hidup sampai
meninggal. Banyak di antara mereka yag tidak hanya memahami dan mengamalkan isi
kandunganya akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyalurkan kepada
generasi-gerenasi berikutnya.
4)
Petunjuk
Akal
Kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Telah diakui dan dibenarkan, dan sudah selayaknya segala
peraturan dan perundangan ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada nabi Muhammad SAW sebagai
rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang
beliau sampaikan.
Fungsi Hadis
a.
Bayan al-Taqrir/ al-Ta’qid/ al-Isbat
Menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Contohnya hadis yang
mentaqrir ayat Al-Qur’an surah Al-Maidah:6 mengenai keharusan berwudhu ketika
hendak mau shalat
نَصْرٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ
|
Telah menceritakan
kepadaku Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma'mar
dari Hammam dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas
hingga ia berwudhu." HR. Bukhari no: 6440
Hadis tersebut
mentaqrir QS. Al-Maidah :6
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ
وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ
إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم
مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ
لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا
طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ
لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ
نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
b.
Bayan al-Tafsir
Memberikan
rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan
persyaratan ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misal pembatasan tentang bangkai yang
tidak boleh di makan kecuai bangakai ikan dan belalang. Sebagai mana firman
Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ
بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ
عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Baqarah : 173]
Kemudian di
perinci lagi dengan sabda rasulullah SAW. Yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اُحِلَّ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَ
دَمَانِ، فَاَمَّا اْلمَيْتَتَانِ فَاْلحُوْتُ وَ اْلجَرَادُ وَ اَمَّا الدَّمَانِ
فَاْلكَبِدُ وَ الطّحَالُ. ابن ماجه 2: 1101، رقم: 3314
.Dari 'Abdullah bin 'Umar
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Dihalalkan bagi kalian dua bangkai
dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan dua darah
yaitu hati dan limpa". [HR. Ibnu
Majah juz 2, hal. 1101, no. 3314)
c.
Bayan al-Tasyril
Mewujudkan
suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Biasanya
alquran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Misal tentang zakat fitrah
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَ اْلحُرّ وَ الذَّكَرِ وَ
اْلاُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ اَمَرَ بِهَا
اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ. البخارى 2: 138
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fithrah satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter)
dari korma atau satu sha' dari gandum
atas budak maupun orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil dan dewasa dari
orang-orang Islam, dan beliau menyuruh supaya dikeluarkan zakat fithrah itu sebelum
orang-orang keluar pergi shalat ('Idul Fithri)". [HR. Bukhari juz 2, hal.
138].
d.
Bayan al-nasakh
al-ibtal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), adalah dalil syara’ yang dapat
menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian.
Contoh: wasiat
bagi ahli waris
Surah
Al-Baqarah ayat 180
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya:
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Di nasakh dengan :
..فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
|
Artinya: maka tidak
ada harta wasiat bagi ahli waris. (HR.IBNUMAJAH - 2704) :[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits
adalah perkataan Nabi (qauliyah), perbuatan Nabi (fi’liyah) dan segala
ketetapan Nabi (taqririyah). Di samping itu
ada beberapa kata yang bersinonim dengan kata hadits, seperti sunnah, khabar
dan atsar. Di mana kebanyakan ulama mengartikan sama kepada tiga istilah ini.
Namun sebagian yang lain membedakannya. Sedangkan Hadits Qudsi adalah hadits
yang maknanya bersala dari Allah dan lafadznya dari Rasulullah Saw.
Bentuk-bentuk hadits diantaranya :
hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri dan hadits hammi. Sedangkan
macam-macam hadits antara lain: hadits mutawattir, hadits masyhur, hadits,
hadits ahad, hadits shohih, hadits hasan dan hadits dhoif
Menurut jumhur Ulama,
kedudukan hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menempati posisi ke dua
setelah Al-Qur’an. Lalu fungsi hadits diantaranya:
1.
Bayan
al-Taqrir/ al-Ta’qid/ al-Isbat
2.
Bayan al-Tafsir
3.
Bayan
al-Tasyril
4.
Bayan
al-nasakh
B.
Saran
Kami
sebagai penulis makalah ini sadar jika makalah ini jauh dari kata
sempurna, kami masih membutuhkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi keberhasilan makalah ini, dan kami
akan lebih berhati- hati dan teliti dalam penulisan kami selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan,
Musthofa. 2012. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia
Khoiriyah.
2013. Metodologi Studi Islam. Surakarta: Fataba Press
Manna
Al-Qaththan. 2013. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta Timur: PUSTAKA
AL-KAUSAR
Supiana.
2017. METODOLOGI STUDI ISLAM. Bandung: Remaja Rosda Karya
Ulumhadis.wordpress.com/2013/10/10/definisi-hadits-2.co.id.
[1] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Islam Hadits, hal. 22
[2] Prof.
Dr. Supiana, M.Ag, Metodologi Studi Islam, hal 168
[3] Ulumhadis.wordpress.com/2013/10/10/definisi-hadits-2.co.id.
[4] Prof.
Dr. Supiana, M.Ag, Metodologi Studi Islam, hal 169
[5] Ibid hal
169-172
[6] Ibid hal
176-178
[7] Musthofa Hasan, ilmu hadits (CV Pustaka Setia,2012) hal 39-46
[8] Musthofa
Hasan, Ilmu Hadist (CV Pustaka Setia,2012) hal84
[9] Ibid hal
85
[10] Ibid
hal 86
[11] Ibid
hal 88
[12] Ibid
hal 92-93
[13] Ibid
hal 94
[14]
Khoiriyah, M.Ag. metodologi Studi Islam
(fataba press, 2013)hal: 46-49
Gambling on the Internet - Drmcd
BalasHapusGambling on the Internet. A place to play 의왕 출장마사지 games, 안동 출장마사지 online 성남 출장샵 casino or sports betting, is at a crossroads. Many 세종특별자치 출장샵 gambling websites are now 익산 출장안마 available,