PERNIKAHAN
Makalah ini disusun
untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Fiqh
Dosen
Pengampu
: Qodim Ma’shum, S.H.I., M.H.I.
Di susun oleh:
Abyda
Ghafariyanti 173111087
ZulfaWahdaAnindita 173111091
Gina Deviana 173111095
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2018
Alhamdulillahirobbil’alamin
tidak
lupa kita selalu panjatkan puja puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmatNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Perkembangan
Studi Islam di dunia Barat dan Indonesia” ini. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurahkan kepada beliau junjungan kita Nabi besar kita Nabi Muhammad
SAW yang mana beliau telah membawa ajaran Islam dari jaman jahiliyah hingga
jaman terang benderang pada jaman sekarang ini.
Tidak lupa kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini hingga selesai.Dan harapan kami
semogamakalahinidapatmenambahpengetahuan, bermanfaat dandapat menambah wawasan
kita. Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh
dari kata sempurna.Kami sebagai penyusun makalah selalu menerima kritik dan
saran, dan semoga makalah ini untuk kedepanya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi dari makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Surakarta, 13 Mei 2018
Penyusun
B. Rumusan
Masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan........................................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A.Pengertian Nikah ....................................................................................... 2
B. Hak dan Kewajiban Calon Suami Istri...................................................... 5
C.Ketentuan dan Tata Cara Pernikahan ...................................................... 10
BAB III: PENUTUP............................................................................................. 15
A. Kesimpulan.............................................................................................. 15
B. Saran........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 16
A.
LATAR BELAKANG
Allah telah menciptakan segala
sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan. Dan juga salah satu cirri
makhluq hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk meneruskan generasi
atau melanjutkan keturunannya.
Maka Islam hadir dengan membawa
ajaran pernikahan yang sesuai syariat-Nya. Islam sebagai agama ajaran-ajaran
tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula
berbagai persoalan seperti ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi
lain dalam kehidupan manusia. Sehingga
hal inilah yang menjadi pokok latar belakang dalam penulisan makalah ini.
1. Apa yang
dimaksud dengan pernikahan ?
2. Apa saja
kewajiban dan hak calon suami/ istri dalam pernikahan ?
3. Apa saja
ketentuan dan tata cara pernikahan ?
1. Mengetahui
pengertian pernikahan beserta pembahasan yang mengelilinginya.
2. Mengetahui
kewajiban dan hak calon suami/ istri dalam pernikahan.
3. Mengetahui
ketentuan dan tata cara pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah
a. Nikah
Pengertian nikah secara bahasa, nikah berasal dari bahasa arab, yaitu nakaha-yankihu-nikahan
yang artinya menghimpun/ mengumpulkan. Pengertian nikah secara
istilah adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim sebagai suami istri dengan tujuan membina suatu rumah tangga
yang bahagia berlandaskan tuntunan Allah SWT.[1]
Nikah atau perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewaijban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan. Namun demikian, Allah Ta’ala tidak menghendaki
perkembangan dunia berjalan sekehendaknya. Oleh sebab itu diaturNya lah naluri
apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan
undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik,
suci, dan bersih. Demikianlah bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia
sebenarnya tak pernah terlepas dari didikan Allah.
b. Dalil Nikah
1. Allah Ta’ala
berfirman dalam QS. Adz Dzariyat : 49
وَمِن
كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
“Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang- pasangan agar kamu mengingat (kebesaran
Allah)” (QS. Adz Dzariyat : 49)
2. Rasulullah SAW
bersabda
“Dunia itu harta benda, dan sebaik-baik
harta benda adalah perempuan Shalihah” ( H.R Muslim)
Dalam hal
demikian, faedah terbesar pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan dan memelihara kerukunan anak
cucu (keturunan). Demikianlah maksud pernikahan sejati dalam islam. Singkatnya
untuk kemashkahata rumah tangga dan keturunan, dan juga untuk kemashlahatan
masyarakat.
c. Hukum Nikah
Berikut
hokum nikah sesuai dengan keadaannya[2]
:
1. Jaiz (diperbolehkan) ,inilah asal
hukumnya.
2. Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta
mampu memberi nafkah dan lain- lainnya.
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah
dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina).
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi
nafkah.
5. Haram, bagi orang yang akan berniat
menyakiti perempuan yang dinikahinya.
d. Rukun Nikah
Berikut
rukun- rukun nikah[3] :
1. Suami, mempelai
dari pihak laki-laki.
2. Istri, mempelai
dari pihak perempuan.
3. Wali (wali dari
pihak perempuan)
Sabda
Nabi SAW[4]
;
“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin
walinya, maka pernikahannya batal.” (Dikeluarkan oleh empat Imam kecuali
Nasa’i)
4. 2 orang saksi
Sabda
Nabi SAW ;
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil” (Riwayat Ahmad)
5. Shigat (akad)
Yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali, “saya
nikahkan engkau dengan anak saya bernama…….”. jawab mempelai laki-laki, “ saya
terima nikahnya………..”
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz
nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
e. Syarat- syarat
Nikah
Syarat- syarat pernikahan berkaitan dengan rukun –rukun nikah yang telah
dikemukakan diatas.
Hal lainnya adalah kedua mempelai haruslah kafa’ah atau sepadan. Meski
bukan termasuk syarat, Rasululah menganjurkan agar pasangan ang akan menikah
hendaknya sepadan atau sekufu. Prinsip sekafah atau sepadan dalam pernikahan
terdiri atas lima sifat, yaitu menurut tingkat kedua ibu bapak (agama, merdeka atau hamba,
perusahaan, kekayaan, kesejahteraan).
Kufu ini tidak menjadi syarat bagi pernikahan. Akan tetapi, jika tidak
ada keridaan masing- masing, salah satu pihak boleh membatalkan pernikahan itu
dengan alas an tidak kufu (setingkat).
f. Keharaman Nikah
Adapun yang
haram dinikahi adalah sebagai berikut[5]
:
1. Tujuh orang
dari pihak keturunan
a) Ibu dan ibunya
(nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
b) Anak dan cucu,
dan seterusnya ke bawah.
c) Saudara
perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
d) Saudara
perempuan dari bapak.
e) Saudara
perempuan dari ibu.
f) Anak perempuan
dari saudara laki- laki dan seterusnya.
g) Anak perempuan
dari saudara perempuan dan seterusnya.
2. Dua orang
dari sebab menyusui
a) Ibu yang
menyusuinya.
b) Saudara
perempuan sepersusuan.
3. Lima orang
dari sebab pernikahan
a) Ibu istri
(mertua)
b) Anak tiri,
apabila sudah campur dengan ibunya.
c) Istri anak
(menantu)
d) Istri bapak
(ibu tiri).
Firman Allah dalam surat An Nisa :
22
وَلَا
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ
إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا ٢٢
Artinya : “ janganlah kamu nikahi wanita- wanita yang telah dinikahi
ayahmu………”
(Q.S An Nisa : 22)
Haram menikahi dua orang dengan cara
dikumpulkan bersama- sama, yaitu dua perempuan yang ada hubungan mahram,.
Seperti dua perempuan yang bersaudara, dan seterusnya menurut pertalian mahram
diatas.
Dan diharamkan bagi muslim untuk menikahi wanita majusi, wanita yang
menyembah berhala (watsaniyyah), dan wanita yang keluar dari islam (murtaddah).
Dan diperbolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab ( yahudi dan
nasrani).[6]
B. Kewajiban dan
Hak Calon Suami/ Istri
Membicarakan
kewajiban dan hak suami istri, terlebih dahulu kita membicarakan apa yang
dimaksud dengan kewajiban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi
Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang
Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima.
a.
Hak Suami
1.
Hak
Ditaati
Q.S An-Nisaa’: 34 mengajarkan bahwa kaum
laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas kaum perempuan(dari segi kodrat kejadianya), dan
adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya.
Istri-istri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami
mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami
mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta
taufik-Nya kepada istri-istri itu.
2.
Hak
Memberi Pelajaran
Bagian kedua
dari Ayat 34 QS An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhawatiran suami bahwa
istrinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah diberi nasehat secara
baik-baik. Apabila dengan nasehat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah
suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih belum juga mau taat, suami
dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak
pada bagian muka)[7].
b.
Kewajiban Suami
Ada enam kewajiban yang harus dilakukan suami kepada istrinya,
yaitu:
1.
Selalu
memelihara hubungan baik dengan istrinya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala: Wa
‘asyiru hunna bil ma’ruf, dan sabda Rasulullah Saw.
“Orang-orang yang terbaik diantara kalian ialah yang terbaik kepada
istrinya, dan akulah orang yang terbaik di antara kalian kepada istrnya.” (HR.
Tirmidzi dain Ad Dailami).
2.
Rasulullah
juga berwasiat:
“Hendaklah kau memberi makan dia (istrimu) apabila engkau makan,
dan beri pakaian dia apabila engkau memakai pakaian. Jangan kau pukul wajahnya,
jangan memburukkannya, dan jagan ditinggal sendirian kecuali dia dalam
rumahnya.” (HR. Abu Daud).
3.
Seorang
suami muslim yang baik di anjurkan agar tidak kikir tapi tidak juga royal dalam
memberi nafkah kepada istrinya.
4.
Seorang
suami muslim yang taat dianjurkan agar mengajarkan hukum-hukum agama kepada
istrinya dan mendidik agar takut kepada Allah Swt.
5.
Salah
satu sopan santun menghadapi istri dalam islam adalah banyak-banyak menjaga
pandangan (dalam melihat perempuan lain), memaafkan kesalahannya, tidak
memancing perdebatan karena sudah fitrahnya seorang wanita menuntut kelapangan
dada sang suami, seperti disabdakan Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Bila kamu hendak
meluruskannya maka berarti kamu mematahkannya. Bila kamu membiarkannya maka dia
akan memperoleh kesenanagn dari kebengkokannya itu.” (HR.Al Bukhari dan
Muslim).
6.
Suami-istri
yang paham dan taqwa akan senantiasa mewujudkan rumah tangga idaman sesuai
dengan kehendak Allah Swt. Mereka menciptakan rumah tangga yang sakinah, tenang
dan selalu diliputi oleh mawaddatan wa rahmah (saling berkasih sayang dan
saling menyayangi seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar-Ruum
: 21).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”[8]
c. Hak Istri
1. Hak-Hak Kebendaan
·
Mahar
(Mas Kawin)
Q.S an-Nisa’: 24 memerintahkan :
“Dan berikanlah mas kawin kepada
permpuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka
dengan senang hati memberikan mas kawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai
makanan yang sedap lagi baik akibatnya”.
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat
diperoleh suatu pengertian bahwa mas kawin itu adalah harta pemberian wajib
dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh
diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan mas kawin apabila telah
diberikan oleh istri dengan suka rela.
·
Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah
adalah mencukupkan segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian tempat
tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Q.S Al-Baqarah : 233 mengajarkan, “Dan ayah berkewajiban mencukupkan
kebutuhan makanan dan pakaian untuk para ibu dan anak-anak dengan syarat yang
ma’ruf.”
2.
Hak-hak
Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib
ditunaikan suami terhadap istrinya, disimpulkan dalam perintah QS an-Nisaa : 19
agar para suami menggauli istri-istrinya dengan makruf dan bersabar terhadap
hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada istri. Menggauli istri dengan
makruf dapat mencakup :
·
Sikap
menghargai, menghormat, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan
taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan.
·
Melindungi
dan menjaga nama baik istri.
·
Memenuhi
kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
·
Menjaga
istri dengan baik. Suami berkewajiban menjaga istriya, memelihara istri dan
segala sesuatu yang menodai kehormatanya, menjaga harga dirinya, mejunjung
tinggi kehormatan dan kemulianya, sehingga citranya menjadi baik.[9]
d.
Kewajiban Istri
Kewajiban-kewajiban seorang istri kepada suami juga terangkum dalam
5 kewajiban pokok yaitu:
1.
Taat
kepada suami dalam segala-galanya, kecuali perintah dan larangan yang
mendatangkan murka Allah Swt. Bersikap taat kepada suami ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Saw:
“Kalau aku dibenarkan memerintahkan kepada sesorang bersujud kepada
orang lain, tentu aku memerintahkannya seorang wanita bersujud kepada
suaminya.” (HR. At Tirmidzi).
2.
Rasulullah
Saw melarang istri berpuasa sunnah selama suaminya ada dirumah. Sabdanya:
“Tidak dibenarkan seorang istri berpuasa sunnah bila suaminya
berada dirumah, kecuali dengan seizinnya. Seorang istri tidak dibenarkan
mengijinkan seorang masuk ke rumahnya kecuali bila sudah diijinkan suami juga.”
(HR. Al Bukhari).
3.
Seorang
istri muslimah lagi shalehah akan senantiasa mematuhi suaminya, kecuali hal
yang maksiat kepada Allah Swt. Istri harus selalu menyenangkan suaminya agar
betah di rumah dengan memberi senyuman yan g tulus dan menawan. Denagn
kesetiaannya yang ikhlas, degan cinta dan pengorbanan yang menyala-nyala.
4.
Seorang
istri muslimah yang bijaksana harus mempertanggungjawabkan amanat-nya sebagai
seorang ibu rumah tangga salam memelihara rumah tangganya agar tetap tenang,
memancarkan rasa mawaddatan wa rahmah. Memelihara kebersihan lahir batin
anggota keluarganya, dan membelanjakan harta kekayaan suaminya dengan tuntutan
Allah Swt.
5.
Seorang
istri muslimah (bila suaminya meninggal) berkabung dan menunggu masa iddahnya
berakhir empat bulan sepuluh hari. Tetapi ia tidak boleh berkabung lebih dari
tiga hari bila bukan suaminya, meskipun yang meninggal itu ibunya atau bapaknya
sendiri.[10]
C. Ketentuan
dan Tata Cara Pernikahan
a.
Khitbah atau Pinangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang
yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama islam
terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya, kecuali perempuan yang masih
dalam “iddah ba’in”, sebaiknya dengan jalan sindiran saja. Firman Allah
SWT:
Artinya:
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu yang meminang wanita-wanita itu dengan sindiran..” (QS. Al-Baqarah:235)
Menurut Rahmad Hakim,
meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang menurut adat adalah
bentuk pertanyaan dari satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk
mengadakan ikatan pernikahan. Khitbah ini pada umumnya dilakukan pihak
laki-laki terhadap perempuan namun ada pula yang dilakukan oleh pihak
perempuan. Hanya saja, cara ini tidak lazim dilakukan dan hanya trjadi pada
sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti Minangkanbau yang berlaku adat
meminang dari pihak wanita ke pihak laki-laki.
Jumhur ulama mengatakan bahwa khitbah itu tidak wajib, sedangkan
Daud Azh-Zhahiri mengatakan bahwa pinangan itu wajib, sebab meminang adalah
suatu tindakan menuju kebaikan. Walaupun para ulama mengatakan tidak wajib,
khitbah dipastikan, dalam keadaan mendesak atau kasus-kasus kecelakaan.
Dalam hukum islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara pinangan. Hal
itu memberikan peluang bagi kita untuk melaksanakan dalam adat istiadat yang
berlaku dan sesuai dengan ajaran islam. Upacara tunangan atau pinangan
dilakukan dengan berbagai variasi, dan cara yang paling sederhana, pihak
orangtua calon mempelai laki-laki mendatangi pihak calon mempelai perempuan,
untuk melamar dan meminang.dalam acara tunangan biasanya dilakukan tukar cincin
dan penyerahan cincin untuk pihak wanita. Peminangan tersebut sebagai upacara
simbolik tentang akan bersatunya dua calon suami istri ysng hendak membangun
keluarga bahagia dan abadi.
Semua wanita boleh dipinang, apakah ia masih perawan atau janda.
Yang terpenting adalah tidak meminang istri orang atau wanita yang sudah
dipinang orang lain. Dalam suatu hadis dikatakan:
“Orang
mukmin adalah saudara orang mukmin. Oleh karena itu, tidak halal bagi seorang
mukmin meminang sorang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya, hingga
nyata sudah ditinggalkan.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Yang
tidak boleh dipinang selain diatas adalah perempuan yang sedang masa iddah
raj’iyyah, karena setatusnya masih bisa dirujuk oleh bekas suaminya, atau jika
masa iddahnya belum selesai dikhawatirkan perempuan ini hamil.
Dengan penjelasan di atas, perempuan yang boleh dipinang adalah
sebagai berikut:
1.
Tidak
sedang dalam pinangan orang lain.
2.
Tidak
sedang dalam masa iddah raj’iyyah.
3.
Tidak
ada larangan syar’i untuk dinikahi.
4.
Perempuan
yang sedang masa iddah karena ditalak ba’in, sebaiknya dipinang dengan cara
rahasia.
b.
Akad Pernikahan
Suatu perkawinan harusa ada akad yang jelas dalam bentuk ijab kabul
antara calon mempelai laki-laki wali dari calon mempelai perempuan. Inilah yang
paling pokok dalam perkawinan.
Dalam hukum islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah
adalah dua istilah yang terdiri dari lafazh akad atau nikah. Akad menurut
bahasa (lughah) diambil dari kata عقد-ىعقد-قدا yang berarti mengikat sesuatu dan juga bisa dikatakan
seseorang yang melakukan ikatan.
Menurut istilah syara’pengertian akad
adalah sebagai berikut:
1. Menurrut Al-Zurjani
“Suatu ikatan yang membolehkan untuk membolehkan untuk
melakukan sesuatu dengan adanya ijab kabul”[11]
2. Menurut Ibn Abidin
Akad adalah suatu ikatan yang menetapkan keridaan kedua belah pihak yang
bebbentuk (wujud) perkatan ijab kabul.
Ikatan perkawinan (akad nikah dilakukan dengan menyatakan persetujuan
oleh kedua belah pihak calon suamidan calon istri dihadapan saksi-saksi.
Peristiwa inilah yang paling penting. Pernyataan persetujuan itu menurut
istilah fiqh (hukaum islam) disebut ijab (pernyataan) dan kabul (penerimaan
atau persetujuan). Dengan pernyataan ijab kabul dihadapan saksi-saksi,
perkawinan itu menjad sah dan sempurna. Akan tetapi, biasanya sebelum ijab kabul,
Nabi SAW menyampaikan khotbah nikah sehingga perkawinan itu nampak suci dan
agung.
Dalam khotbah nikah ini disebutkan keharusan suami istri untuk bertakwa
kepada Allah dan mengatu kehidupan keluarga menurut ketentuan-ketentuan Allah.
Sebab perkawinan itu bisa dianggap sah dan suci karena menggunakan nama Allah.
Dari pengertian kata akad dan nikah diatas, dapat diambil beberapa
rumusan pengertian akad:
1. Menurut hukum Syara’ akad dan
nikah/prkawinan adalah suatu yang memebolehkan seseorang untuk melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafazh “nikah atau mengkawinkan” yang dikuti
dengan mengucap ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas
serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.
2. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 sub C,
dikatakan bahwa akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan
kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang
saksi.
Rumusan pengertian akad nikah diatas,
secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Akad nikah itu merupakan perjanjian atau
ikatan.
2. Adanya akad nikah menjadikan dihalalkannya
berkumpul atau bersetubuh.
3. Bentuk akad nikah adalah sighat ijab dan
kabul.
4. Akad nikah hendaknya dilakukan dengan jelas
dan langsung.
c. Walimah
Pesta perkawinan atau
disebut juga “walimah”, adalah pecahan kata dari ولم artinya: mengumpulkan. Karena dengan pesta tersebut
dimaksudkan memberi doa restu agar kedua mempelai mau berkumpul dengan
rukun.
Ada yang mengatakan,
mengadakan walimah perkawinan itu hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi
saw, kepada Abdurrahman bin ‘Auf:
اولم ولوبشاة (رواهالشىخان)
Artinya:“Adakanlah walimah sekalipun hanya ada
seekor kambing.” (HR. Bukhari-Muslim)
Sedang walimah-walimah yang lain hukumnya mustahab
dan tidak ditentkan seperti halnya walimah perkawinan. Bagi yang mampu, walimah itu paling sedikit
dengan menyembelih seekor kambing. Karena Nabi saw.pun menyembelih seekor
kambing ketika mengadakan walimah unuka perkawinan beliau dengan Zainab binti
Jahsy- Radhiallahu ‘anha[12].
BAB III
Pengertian
nikah secara bahasa, nikah berasal dari bahasa arab, yaitu nakaha-yankihu-nikahan
yang artinya menghimpun/ mengumpulkan. Pengertian nikah secara
istilah adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim sebagai suami istri dengan tujuan membina suatu rumah tangga
yang bahagia berlandaskan tuntunan Allah SWT. Dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi
syarat dan ketentuanny agar dapat diaanggap sah pernikahan tersebut baik negara
maupun agama. Lalu dalam suatu pernikahan calon suami istri juga harus
mengetahui hak dan kewajibannya. Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan
sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Selanjutnya
adalah tata cara pernikahan yang diawali dari khitbah selanjutnya akad dan yang
terakhir adalah walimah.
Berdasarkan
makalah yang kami susun, kami dapat menyarankan kepada para pembaca agar dapat
mengetahui mengenai konsep islam tentang manusia mulai dari hakikat kedudukan
kita sebagai manusia, fitrah manusia, manusia sebagai khalifah di muka bumi ini
dll. Dengan mengetahui semua itu menjadikan kita lebih bersyukur lagi tentang
apa yang telah di berikan oleh Allah SWT
Ghazaly, Abd. Rahman. FIQH
MUNAKAHAT. 2003. Jakarta : Prenada Media
http://www.materikelas.com/nikah-pengertian-hukum-rukun-dan-syarat-nikah/ (diakses pada
tanggal 17 april 2018 jam 20.34 WIB)
https://miftassyumaisah.wordpress.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/ ( diakses pada tanggal 11 Mei 2017 jam 19 :30)
Mutiara Pernikahan
Rasyid,
Sulaiman . Fiqh Islam. 2010. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih juz. 1936. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah
Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar